Pikiran dan Strategi si Kuda Liar Kartini[1]
Oleh: Dewi Nova*
Oleh: Dewi Nova*
“Biarkan orang banyak itu bodoh, maka kekuasaan atas mereka ada
di tangan kita! Kiranya demikianlah semboyan kebanyakan pembesar. Mereka tidak
suka melihat orang-orang lain juga menginginkan pengetahuan dan kemajuan.[3]”
Pikiran-pikiran Kartini
Kartini mengamati, di masanya, pendidikan dan pengetahuan, hal
yang mendasar bagi emasipasi perempuan dan bangsanya. Karena pembodohan yang
dibiarkan terus menerus membuat perempuan dan rakyat bumi putra tidak menyadari
dan menghamba pada yang menindasnya –bangsawan dan Kerajaan Belanda. Kartini
juga mengkritisi pendidikan tidak serta merta membuat bangsawan –kelas
beruntung di zamannya—merasa senasib sepenanggungan dengan rakyat jelata.
Pengetahuan tanpa pembentukan budi pekerti telah disalahgunakan oleh bangsawan
untuk menguasai rakyat bumi putera. Sehingga tidak mungkin kelas
bangsawan ini mengajak rakyat bumi putra menikmati nasi putih pengetahuan
bersama-sama di meja makan mereka. Dalam pembodoan itu, bangsawan menikmati
sanjungan dan kekayaan bumi hasil kerja keras rakyat. Ya, bangsawan dan
kerajaan Belanda yang menunjuk para bangsawan itu untuk memerintah rakyat
pribumi. Padahal tanah air ini tanah milik seluruh rakyat bumi putra yang harus
dikelola untuk kesejahteraan. Tidak saja kesejahteraan fisik yang bersifat
kebendaan tapi juga kesejahteraan berpikir rakyat bumi putra. Untuk itu
pembentukan budi pekerti, Kartini rancang sama pentingnya dengan pendidikan-pengetahuan
bagi perempuan dan bangsanya.
Sebagai pemikir yang bertubuh perempuan dengan segala kontruksi
gender yang memenjarakannya. Sadarlah Kartini bahwa relasi kuasa yang tidak
imbang antara kerajaan Belanda – Bangsawan dan rakyat Bumi Putra itu
berlipat-lipat lebih menjerat perempuan rakyat jelata bahkan perempuan
bangsawan sepertinya. Bersama saudara-saudara perempuannya, Kartini berpikir
keras, mencari jalan untuk mentransformasi situasi perempuan yang paling
dirugikan dalam lingkaran penguasaan kekayaan tanah air dan pembodohan bangsa
menjadi subjek penggerak untuk melawan pembodohan. Karena dalam pembodohan
orang tidak akan merasakan penindasan, ia terus menghamba pada yang
membodohkan. Sehingga soal-soal itu yang ingin Kartini bersaudara jawab melalui
penciptaan peluang perempuan untuk mengakses pendidikan agar
berpengetahuan.
Suasana yang dihadapi Kartini itu telah berjalan sekitar 116
tahun lalu (1899[4]). Tapi perjuangan Kartini masih harus terus kita
lanjutkan. Hari ini perjuangan perempuan untuk menikmati pendidikan dan
pengetahuan masih menghadapi tantangan sama dengan cara berbeda dibanding masa
Kartini. Sebagian warga perempuan menghadapi hambatan akses pendidikan akibat
pemiskinan. Bila di masa Kartini pemiskinan itu dibuat oleh kolonialisme, maka
hari ini pemiskinan terus memburuk akibat politik ekonomi global dunia. Akibat
perjanjian-perjanjian dagang pemerintah dan pengendali tata kelola ekonomi
global. Sudah menjadi pengetahuan bersama, pengelolaan bumi dan air yang hanya
memikirkan keuntungan sebagian kecil pemilik modal menimbulkan konflik dan
pemiskinan yang memperburuk akses rakyat pada pendidikan dan penikmatan hak
yang lain. Keluarga-keluarga di desa yang tak dapat meraih kesejahteraan dari
bidang pertanian, dipaksa menjadi buruh di kota-kota dan negara yang
lebih kaya. Di Desa yang kemudian jadi pengirim buruh migran, mimpi
pendidikan anak perempuan diperpendek hingga tingkat SMA. Karena saat kelulusan
tiba, para perekrut buruh migran sudah menanti mereka di depan sekolah.
Bersekutu dengan orang tuanya, dengan agen-industri buruh migran, dan
majikan-majikan di negara yang lebih maju untuk menyokong kesejahteraan mereka.
Perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi agar segera menghasilkan uang dan
keuntungan untuk keluarga, industri buruh migran dan majikan di negara maju.
Tantangan yang barangkali tak dibayangkan Kartini, saat memperjuangkan
cita-citanya mendirikan sekolah untuk perempuan.
Tantangan lain, lembaga-lembaga pendidikan lebih banyak
mengabdi pada kekayaan daripada untuk menyiapkan generasi untuk membawa bangsa
Indonesia lebih maju –sebagaimana yang dicitakan Kartini. Sekolah hari ini bisa
jadi industri yang paling keji. Untuk biaya anak sekolah dasar yang diiklankan
sebagai sekolah favorit bisa berlipat mahal dibandingkan SPP di universitas
swasta di Pamulang (tempat penulis tinggal), misalnya. Lebih dari itu,
kurikulum yang disiapkan tidak untuk menjadi pemimpin bangsa tapi bagaimana
menjadi buruh yang baik untuk pengelola sumber daya alam tanah air.
Sebuah pengelolaan yang bukan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan kebendaan
dan alam pikir rakyat seperti yang dicitakan Kartini. Tetapi sebesar-besarnya
untuk pemilik modal.
Gagasan Kartini tentang pentingnya pemerintah memperkerjakan
guru-guru yang setia mengabdi untuk murid-murid yang kelak memajukan bangsa
juga belum sepenuhnya mewujud hingga kini. Bahkan di universitas-unversitas
negara dan ternama, dosen-dosen direkrut berdasarkan kedekatan
kekerabatan dan keuntungan lain para pengelola universitas. Warga yang
berpendidikan dan becita-cita tinggi untuk bangsa banyak yang tidak diterima.
Mereka menjadi dosen, peneliti di negara-negara lain yang membaca
kemampuan mereka.
Sedang tantangan patriarkis di masa Kartini, terus membelit
hingga kini kawin mawin dengan kepentingan industri buruh migran, industri
lembaga pendidikan, hingga tantangan dalam perempuan berelasi dengan kekasih
dan suaminya. Masih banyak perempuan yang merasa bahagia ketika laki-laki
menikahinya dan memintanya berhenti kuliah, berhenti mengabdi pada masyarakat
untuk menjadi peliharaan suami atau kekasihnya.
Apa surat yang akan Kartini tulis kepada Presiden Republik
Indonesia, sekiranya ia hidup sejaman dengan kita? Hal itu, akan
membuat kita malu –sebagai gerakan perempuan dan warga Indonesia—karena belum
berbuat banyak. Terutama untuk pendidikan bangsa yang melawan penguasaan
semena-mena atas kekayaan tanah air dan alam pikir.
Strategi Pendidikan Selendang
Kartini tidak cukup menuliskan, membagikan dan mendiskusikan
pikiran-pikiran emansipasinya. Ia juga berkeras hati untuk mempraktikan
pikiran-pikirannya. Ia bersama saudara-saudara perempuannya menyusun strategi
untuk mewujudkan cita-cita penghapusan pembodohan bangsanya.
Ia menyadari tidak mudah memberikan pendidikan sekaligus pada
embrio bangsa Indonesia yang di masanya ia tulis berjumlah 27 juta jiwa.
Di sisi lain ia menyadari rakyat yang terlalu lama ditindas mudah kagum dan
meniru yang menindasnya –bangsawan. Karena itu ia memilih untuk memilih lapisan
tertinggi bangsa –kelas bangsawan—sebagai sasaran untuk dididik menjadi calon
pendidik. Walaupun secara etis, kewajiban mendidik dan membentuk budi pekerti
rakyat oleh bangsawan, sebagai hal yang harus dilakukan atas sikap rakyat yang
menjungjung tinggi bangsawan. Dari lapisan bangsawan itu ia pilih kelas
perempuan sebagai agen pendidik. Karena ibu pendidik pertama manusia –belajar
merasa, berpikir, berbicara. Dan baginya pendidikan pada di sekolah saja tidak
cukup tapi keluarga di rumah harus bekerja untuk kemajuan bangsa.
Sedikitnya Kartini mengembangkan 10 strategi untuk mengajak
bangsanya meninggalkan pembodohan:
- Pemerintah
wajib meningkatkan kesadraan budi perempuan Jawa, mendidiknya, memberikan
pelajaran, menjadikan mereka sebagai ibu dan pendidikan bagi anak-anak
perempuannya dengan cara membnatu segala kebutuhan sekolah.
- Pemerintah
menghargai hasilnya, kemajuan perempuan Jawa setelah menikmati pendidikan.
- Guru-guru
berkewajiban menjadikan anak-anak yang dipercayakan kepada mereka
menjadikan perempuan yang beradab, cerdas menjadi ibu yang penuh kasih
sayang, pendidik yang berbudi dan cakap.
- Bahasa
pengantar pendidikan bahasa Belanda sebagai kunci untuk membuka khasanah
peradaban dan pengetahuan barat-- dengan tetap memberikan pengajaran
bahasa Jawa
- Menerjemahkan
buku-buku karya Eropa ke dalam bahasa Jawa guna mencerdaskan dan mendidik
orang Jawa
- Mengembangkan-memproduksi
bacaan untuk orang Jawa yang ditulis dalam bahasa populer, dapat dipahami
semua orang, bukan khotbah, juga melainkan cerita yang disajikan
sederhana, segar dan memikat hati. Dan bahan bacaan itu juga menyediakan
petunjuk yang berguna bagi kehidupan praktis sehari-hari. Kerja-kerja
penerbitan buku, majalah secara periodik untuk bacaan dewasa dan
anak-anak.
- Menyediakan
perpustakaan dengan buku-buku berbahasa Jawa, Melayu dan Belanda.
- Perpustakaan
itu kemudian mendorong pembaca untuk berdiskusi melalui program bimbingan
membaca dan diskusi buku yang dikaitkan dengan persoalan hidup sehari-hari
yang ia sebut “malam bercakap-cakap.”
- Dalam
bacaan dan pendidikan pengetahuan tentang Hindia diutamakan, karena
anak-anak didik itu yang akan memimpin Hindia di kemudian hari. Pendidikan
itu antara lain melalui pameran barang kesenian, gamelan dan lain-lain
yang diselenggarakan di rumah bumi putra.
- Pembentukan
budi pekerti pada anak didik bahwa mereka harus memenuhi panggilan budi
masyarakat terhadap bangsa yang akan mereka kemudikan.
Dalam bangunan strategi itu, Kartni dan saudaranya Roekmini
membagi diri untuk terlibat langsung. Roekmini akan sekolah gambar ke Eropa
karena seni untuk rakyat sungguh penting dan studi Ilmu kesehatan,
menyulam merenda dan menjahit. Sedang Kartini akan sekolah bidang
pengajaran untuk mempersiapkan dirinya mendirikan sekolah swsata dengan
pemondokan di Magelang atau Salatiga untuk anak-anak perempuan kepala bumi
putra yang harapannya kelak mereka menjadi pendidik perempuan rakyat bumi
putra. Seluruh pemikiran dan strateginya ia sampaikan kepada pemerintah melalui
tangan Sijthoff, Residen Semarang yang mengirimkan surat permohonan dukungan
terhadap gagasan Kartini kepada Paduka Yang Mulia Gubernur Jenderal Hindia
Belanda.
Strategi pendidikan yang Kartini sebut sebagai pendidikan
selendang ini, tidak hanya bertujuan untuk membebaskan perempuan dari larangan
berpengetahuan dan kolonialisme pada rakyat bumi putra. Tetapi juga feodalisme
yang terlalu lama kawin-mawin dengan patriarkis dan kolonialisme yang merugikan
rakyat bumi putra terlebih perempuan. Kartini mengingatkan kepada sesama
perempuan yang seringkali justru mendidik anaknya untuk melanggengkan berpikir
dan bersikap feodal. “Memuji anak yang membentak pembantu karena tidak
memanggilnya bendoro. Sakit hati kami melihat bagaimana orang yang telah
beruban merendahkan diri terhadap anak-anak kecil, yang kebetulan orang
tuanya berpangkat tinggi dan keturunan bangsawan! Hal itu hamir tidak
perlu dikatakan. Itu lebih jahat dari pada racun! Dan kelak mereka memerintah
rakyat!” tulis Kartini. Ia sendiri menyatakan hanya ingin dipanggil Kartini
saja, tanpa gelar kebangsawanannya.
Sebagaimana pemikir-praktisi perempuan di sepanjang masa,
gagasan-gagasan Kartini juga mendapat tantangan. Dari ibu dan ayahnya, orang-orang
yang paling dikasihinya. “Usul ditolak oleh Ibu dan ayah, tetapi ayah
sendirilah yang menanamkan pikiran-pikiran itu dalam hati lewat pendidikan yang
diberikan kepada kami. Ayah menekan apa yang dipeliharanya sendiri. Dengan
demikian menghancurkan kebahagiaan hidup kami,” keluh Kartini. Tantangan
juga datang dari bupati-bupati yang berpikir belum saatnya mendirikan
sekolah-sekolah bagi anak-anak perempuan para pembesar bumiputra. “Mereka
tidak suka melihat orang lain pandai – rasa setia kawan pada bumi putra itu
memang tidak ada bahkan pada anaknya sendiri, padahal tanpa perasaan senasib
ini tidak mungkin seluruh bangsa maju,” kritik Kartini.
Apa yang bisa kita lakukan hari ini?
Bila melihat ketajaman analisa sosial dan pemikiran Kartini yang
berhasil melihat persoalan perempuan dengan rakyat bumi putra –embrio bangsa
Indonesia—juga cara ia mengidentikasi pentingnya kesejahteraan bukan kebendaan
–pendidikan-pengetahuan sebagai alat perlawanan. Kartini adalah satu dari yang
masih terus kita cari sebagai pemikir-praktisi gerakan perempuan di masa
moderen. Strateginya yang liar – holistik dari rancangan advokasi pada
pemerintah, hingga komponen-komponen pendukung pendidikan –penerbitan,
perpustakaan dan diskusi buku. Menunjukan pandangannya yang luas dan rencana
panjang. Kartini juga berhasil menunjuk ke dalam dirinya – kelas bangsawan,
sebagai sumber pembodohan – penindasan karena terus menikmati keistimewaan
feodalisme. Yang kemudian menjadikan penghapusan feodalisme menjadi
agenda dalam kurikulum dan strategi pendidikan selendangnya.
Kini saatnya kita menunjuk diri, gagasan dan strategi apa
yang harusnya kita kembangkan di masa kini? Dan keistimewaan-keistimewaan apa
yang harus dilepaskan sebagian warga Indonesia pada warga lain, agar pemiskinan
dan patriarkis tak terus melanggengkan pembodohan pada warga perempuan dan
seluruh warga Indonesia?
Sumber bacaan, antara lain:
R.A. Kartini, “Emansipasi Surat Surat Kartini Kepada Bangsanya
1899-1904” (Jalasutra: 2014).
Catatan Kaki:
[1] Disampaikan pada diskusi “Mengambil Gagasan Kartini
dalam Gerakan Perempuan Hari ini,” diselenggarakan API Kartini, D’light Cafe,
Jakarta Barat, 22 April 2015.
[2] Bidang Budaya Perempuan Berbagi, organisasi relawan untuk
kedaulatan perempuan di Kota Tangsel, Banten, Indonesia.
[3] “Berilah Orang Jawa Pendidikan!” Pandangan Kartini, ditulis
di Jepara 1903 dalam notanya.
[4] Bila dihitung dari temuan tahun paling awal Kartini menulis
surat tentang situasi bangsanya kepada sahabat-sahabat penanya.
No comments:
Post a Comment