sumber: http://www.suarakita.org/event/nonton-bareng-film-stonewall/ |
Dalam rangka memperingati IDAHOT[1]
2016, Suara Kita[2]
mengadakan acara nonton film Stonewall yang dilanjutkan dengan diskusi dan refleksi atas film tersebut. Stonewall, film tentang gerakan akar
rumput untuk kesetaraan dan kebebasan kaum LGBTIQ[3] di
Amerika Serikat pada sekitar awal tahun 1970-an.
Terlepas dari kontroversialnya, film ini terkait dengan kontradiksi
antara realita fakta sejarah dan tuntutan holywood
supremacy[4]. Ini film yang baik dan
menarik karena berupaya
menampilkan berbagai situasi yang berkelindan pada saat itu. Budaya patriarki
dan heteronormativitas yang menjadi arus utama, dan bagaimana LGBTIQ berupaya
menampilkan diri sebagai bagian dari masyarakat, adalah topik utama dalam film itu. Para LGBTIQ yang eksis di
jalanan digambarkan sebagai anggota masyarakat dengan kontribusi rendah dan
sering menimbulkan masalah. Selanjutnya, segelintir LGBTIQ kelas menengah yang memiliki
identitas dan cara sendiri dalam melakukan gerakan untuk eksis, seolah dipertentangkan
dengan para LGBTIQ jalanan. Semua peristiwa diceritakan singkat-singkat, bagaikan barisan poin-poin
potongan berita. Puncak peristiwanya
adalah kericuhan di Jalan Christopher, New York, yang
selanjutnya mengubah situasi, posisi tawar, dan kehidupan para LGBTIQ.
Film
ini mengajak kita bercermin. Bagaimana gerakan dan upaya kita, para LGBTIQ di Indonesia?
Kita juga mengalami berbagai perbedaan cara pandang dalam melakukan gerakan yang
efektif. Apakah turun ke jalan harus selalu dilakukan untuk menyuarakan pikiran
dan perasaan kita? Apakah menyediakan ruang diskursus sudah cukup? Apakah perlu
menulis sesuatu di media
untuk menunjukkan keberadaan kita? Bagaimana memperluas gerakan dan merangkul
lebih banyak pihak untuk terlibat secara aktif? Bagaimana toleransi terhadap
insan dan gerakan,
berkembang menjadi penerimaan dan dukungan penuh secara aktif?
Berbagai hal tersebut, jika ditata dengan sinergis sesungguhnya akan saling melengkapi dan merupakan
kekuatan yang dahsyat. Kesediaan untuk saling berbagi ruang, kerja sama, dan saling menolong,
sekaligus juga berkontribusi kepada gerakan
berbagai isu kemanusiaan, akan membuat gerakan lebih efektif.
Fasilitas media sosial perlu dimanfaatkan secara optimal.
Berbagai posting berita pendek atau mendalam, yang konstruktif menyuarakan
keberadaan LGBTIQ,
perlu diupayakan. Informasi keberadaan ruang diskursus yang simpatik akan
menarik minat para insan LGBTIQ, terutama bagi mereka yang masih memerlukan dukungan atas jati dirinya. Sebuah
komunitas yang mendukung, simpatik, empatik, dan merangkul berbagai pihak dapat
memberikan kontribusi positif pada masyarakat umum.
sumber: http://henriettahudson.com/before-there-was-caitlyn-jenner-as-pin-up-there-was-stonewall-as-struggle/ |
Terkait dengan perbedaan kelas, bagaimana kita di
Indonesia, yang masyarakatnya beragam menyikapi soal perbedaan kelas ini?
Sejauh mana gerakan akan efektif dan menyentuh pada masyarakat kelas tertentu?
Bagaimana upaya kelas proletar untuk terus berjuang mengupayakan keberadaan LGBTIQ
sekaligus berjuang untuk hidup? Bagaimana upaya kelas menengah borjuis
menyadari keberadaan hak istimewanya dan sejauh mana hak istimewa itu
memampukan mereka untuk mendukung atau bahkan ikut dalam gerakan? Bagaimana
persoalan relasi kuasa antarkelas yang timpang ini, berkelindan dengan hirarki
gender? Bagaimana mengupayakan ruang diskursus yang lebih terbuka dan merangkul
segala pihak?
Seorang peserta diskusi memberikan apresiasi yang tinggi
kepada para insan transgender—dalam hal ini waria,
yang selama ini paling berani menyuarakan dan menampilkan dirinya. Hal itu dipahami dengan empatik, bahwa banyak dari insan
waria hidup mandiri dan berdikari. Mereka lepas dari dukungan keluarga karena
dianggap berbeda, tidak normal sehingga dikucilkan. Hal itu memperkuat ikatan
persaudaraan di antara para insan waria dan membuat mereka berani menempuh
hidup sesuai dengan jati diri yang mereka ejawantahkan.
Peserta diskusi menyadari bahwa ikatan yang kuat ini tidak
berlaku secara umum di antara setiap insan LGBTIQ. Banyak yang masih berkutat
dengan penerimaan diri dan sekaligus masih belum bisa melepaskan diri dari
kelindan romantisme cinta eksklusif dan romantisme perjuangan gerakan. Sering
terjadi pada para insan, saat masih menjadi pasangan sangat getol berjuang.
Namun saat cinta kandas di tengah jalan, semangat untuk berjuang juga kandas.
Pada persoalan identitas diri LGBTIQ, dukungan keluarga
sangat diperlukan. Pada sebuah adegan di Stonewall, Sang Tokoh memperoleh
dukungan langsung dari adik perempuannya dan secara diam-diam dari ibunya.
Sedangkan Sang Ayah melakukan aksi diam dan mengabaikannya. Dukungan sekecil
apa pun dari
sedikit anggota keluarga akan sangat menentukan bagaimana kita, para insan
LGBTIQ ini berdiri tegak tersenyum menempuh kehidupan. Hal ini dengan mantap
diamini oleh peserta diskusi dan beberapa menceritakan bagaimana dirinya berani
menjadi diri sendiri karena toleransi dan penerimaan dari keluarga.[]
Sumber:
[1]IDAHOT, Internasional Day Against Homophobia and Transphobia,
diperingati setiap tanggal 17 Mei. Tanggal ini adalah tanggal yang penting
karena pada tanggal ini tahun 1990 WHO mencabut homoseksualitas sebagai
gangguan jiwa.
[2]Suara Kita, sebuah oase dan ruang diskursus yang ramah LGBTIQ
[3]LGBTIQ, Lesbian Gay Bisexual Transgender Intersex Queer, umumnya
lebih dikenal sebagai LGBT saja.
[4]Ada realita fakta sejarah bahwa kericuhan di Jalan Christopher
didalangi oleh kaum transeksual kulit berwarna (Spanyol, Afro-amerika, dll.),
sedangkan pada film Stonewall, dalang kericuhan adalah gay berkulit putih.
No comments:
Post a Comment