Monday, November 23, 2015

Amanat pasal 15 UU No 23 Tahun 2004: Kewajiban Masyarakat Mencegah dan Memberikan Perlindungan pada korban KDRT

Dewi Nova*

Dian Agusdiana bersama Bapak-bapak RT 02/06 Perumahan Reni Jaya, Pamulang, memberi masukan pertolongan pertama pada korban kekerasan (dok. Perempuan Berbagi)
Menengahi; memberikan perlindungan pada korban; memberikan pertolongan pertama atau membawa korban ke puskesmas terdekat; melapor ke polisi; menguatkan korban dengan memberikan dukungan mental pada korban. Itulah beberapa tindakan yang akan dilakukan ibu-ibu dan bapak-bapak bila terjadi kekerasan terhadap perempuan dan anak di lingkungannya. Pendapat tersebut mereka sampaikan pada Pelatihan Lingkungan Ramah Perempuan dan Anak tahap II yang diselenggarakan Perempuan Berbagi dan PKK RT 02, RW 06 Perumahan Reni Jaya di Pamulang Barat (21/11/2015). Pelatihan ini bagian dari rangkaian aksi Kampanye 16 Hari Penuh Cinta (25 November - 10 Desember) di Kota Tangsel, Banten.
Rencana aksi itu, peserta sampaikan, setelah melalui belajar bersama mengenai kekerasan berbasis gender dan mengapa lebih banyak perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan yang pada pelatihan tahap I (14/11/2015). Yang dilanjutkan belajar bersama mengenai konseling dan bantuan hukum untuk korban yang difasilitasi Siska Sriyanti (koordinator Perempuan Berbagi) dan Dian Agusdiana (sahabat Perempuan Berbagi) di awal pelatihan tahap II.
Reka mereview pelatihan tahap I melalui penayangan liputannya di blog Perempuan Berbagi
Beberapa pertanyaan muncul, saat Siska memperkenalkan prinsip-prinsip dan pengetahuan dasar konseling untuk pemulihan korban. Pertanyaan seorang ibu mengenai apa yang harus dilakukan konselor bila menghadapi korban yang tidak mau bicara. Siska tanggapi dengan penjelasan pentingnya membangun hubungan baik di awal tahap konseling untuk mendapatkan kepercayaan dari korban. Seorang bapak menanyakan posisi konselor, apakah hanya mendengarkan pengaduan dari korban atau juga harus mendengar dari pelaku. Sementara bapak yang lain menyampaikan kegelisahannya bahwa tak mungkin seorang isteri dibentak kalau tidak ada peristiwa sebelumnya (yang mengundang suami membentak isteri). Bahkan peserta lain menyampaikan kesulitannya, bagaimana kalau anak sudah 10 kali diberitahu tapi tidak menurut (bagaimana bisa mendisiplinkan anak tanpa kekerasan). 

Siska menanggapi pertanyaan peserta terkait konseling untuk korban kekerasan
Siska menanggapi kegelisahan peserta itu dengan penjelasan pentingnya bersikap menghindari pembenaran apa pun atas satu peristiwa kekerasan. Dan membantu korban memahami akar kekerasan yang dialaminya, agar tidak berulang. Karena konselor berperan untuk memastikan korban untuk mendapatkan hak-haknya terbebas dari kekerasan apa pun alasannya. Konselor juga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan korban atau merujuk korban pada pihak yang dapat membantunya akibat kekerasan yang dialaminya, baik bantuan penyembuhan luka fisik, tes penyakit menular dan HIV & AIDS juga kehamilan bagi korban perkosaan, maupun bantuan hukum dan pemulihan sosial.
“Konselor memang harus adil dan berjarak dengan penyintas, tapi tetap berpegang pada prinsip-prinsip anti kekerasan. Proses konseling itu, proses bagaimana korban dibantu mencari-memahami akar kekerasan dan bagaimana menemani korban untuk memilih pada tahap mau keluar atau tidak dari situasi kekerasan,” kata Siska. Ia juga menambahkan, dalam kasus tertentu dimungkinkan diberikannya layanan konseling pada pelaku untuk menghindari tindakan yang lebih buruk pada korban. Dan itu salah satu alasan, mengapa kemudian juga diperlukan konselor sesama laki-laki untuk membantu perubahan berpikir dan perilaku pelaku kekerasan.
Selanjutnya Dian Agusdiana mengajak 3 orang peserta untuk bermain peran apa yang dilakukan warga sebagai tetangga, bila mengetahui ada tindakan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) di sebelah rumahnya. Dan apa yang dirasakan korban saat mengalami KDRT. Selanjutnya, advokat itu meminta tanggapan pada seluruh peserta mengenai permainan yang mereka tonton. Sebagian ibu menyampaikan bahwa menurutnya masalah suami isteri lebih baik diselesaikan dua orang saja dan tidak perlu ada turut campur tetangga. Tetapi ibu yang lain punya pengalaman berbeda. Ia dan suaminya sering berdiri dan sengaja melihat tetanganya yang keras kepada isterinya. Agar suaminya tahu perilakunya ada yang melihat. Harapannya, si suami tidak melakukan kekerasan yang lebih buruk karena diawasi tetangga. Beberapa bapak menyampaikan memang mereka harus mencegah jangan sampai kejadiannya menjadi lebih buruk.

Berdasarkan tanggapan-tanggapan tersebut, Dian mengajak peserta untuk memahami apa itu KDRT dan perkosaan berdasarkan hukum yang berlaku. Dilanjutkan dengan memahami karakteristik korban, antara lain keengganan korban untuk melapor karena kekerasan dipahami sebagai aib. Karena itu, selain perlunya dukungan konseling untuk korban, masyarakat juga penting untuk mengetahui pertolongan pertama seperti apa yang dapat mereka berikan. Antara lain, pada kasus perkosaan, korban dapat didukung untuk: (1) tidak mandi atau membersihkan kelamin sehingga sperma, serpihan kulit ataupun rambut pelaku tidak hilang untuk dijadikan bukti; (2) mengumpulkan semua benda yang dapat dijadikan barang bukti, misalnya: perhiasan dan pakaian yang melekat di tubuh korban atau barang-barang milik pelaku yang tertinggal. Masukkan barang bukti ke dalam kantong kertas atau kantong plastik; (3) Segera lapor ke polisi terdekat dengan membawa bukti-bukti tersebut, dan sebaiknya dengan keluarga atau orang kepercayaan korban; (4) Segera hubungi fasilitas kesehatan terdekat (dokter, puskesmas, rumah sakit) untuk pemulihan kesehatan, tes kehamilan, penularan PMS dan HIV & AIDS serta untuk mendapatkan surat keterangan yang menyatakan adanya tanda-tanda persetubuhan secara paksa (visum); (5) Meyakinkan korban perkosaan bahwa dirinya bukan orang yang bersalah, tetapi pelaku yang bersalah.
Peserta nampak tidak ada kesulitan dalam menyikapi kasus perkosaan tetapi untuk kasus KDRT mereka masih ragu. Apakah masyarakat berwenang turut campur pada saat terjadi KDRT? Dian menanggapai bahwa masyarakat secara moral wajib membantu korban dan secara hukum diwajibkan oleh Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No 23 Tahun 2004, pasal 15 “Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: a. mencegah berlangsungnya tindak pidana; b. memberikan perlindungan kepada korban; c. memberikan pertolongan darurat; dan d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Diskusi selanjutnya mengarah pada mekanisme bagaimana masyarakat di lingkungan RT 02 tersebut bersikap bila terjadi kekerasan di lingkungannya. Yang akan dibahas lebih dalam pada pelatihan tahap III mengenai pencatatan dan advokasi kasus yang akan diselenggarakan pada 5 Desember 2015.

Penulis adalah Koordinator Bidang Budaya, Perempuan Berbagi.

No comments:

Post a Comment