Oleh: Dewi Nova
Siang, 15 April 2015, ruang pertemuan Megawati Institut dipenuhi peserta bedah buku. Banyak yang mengenakan jilbab, hadir juga dari kalangan pastor. Master of Ceremony yang berpakaian muslimah menyampaikan tujuan pertemuan untuk mendiskusikan buku “Mengupas Seksualitas Mengerti Arti, Fungsi, dan Problematika Seksual Manusia Era kita” karya yang ditulis Prof. Dr. Musdah Mulia, M.A. Penulis seorang intelektual muslim, yang menurut moderator Pendeta Steve Suleeman, Th.M berani menyampaikan pemikirannya di masa kegelapan. Masa ke arah kecenderungan fundamentalisme agama.
Pendapat
pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta ini, tidaklah berlebihan bila kita
mengamati berbagai kekacauan pemahaman seksualitas yang sedang berlangsung di
masyarakat. Antara lain keengganan menggali pengetahuan tentang keragaman
orientasi seks yang menghadirkan kajian-kajian publik yang menyamakan orientasi
seks sesama jenis dengan sodomi. Dan diperkeliru dengan kesewenang-wenangan
menganggap homoseksual sebagai perilaku kejahatan seksual. Sehingga muncul
pemikiran-pemikiran untuk melakukan penghukuman pada warga homosek. Sementara
kontruksi perempuan sebagai objek seksual terus dikukuhkan.
Terakhir adab kita
dipermalukan dengan pemberitaan praktik menikahkan korban dengan pelaku
perkosaan. Juga pernyataan pejabat negara yang membenarkan tindak perkosaan
pada perempuan yang tidak menutup auratnya. Tentu saja media turut
bertanggungjawab dalam mengkampanyekan kekacauan itu, sehingga seksualitas
menjadi semakin remang-remang, meminjam istilahnya Baby Jim Aditya. “Karena seksualitas dibuat
tabu, dibuat remang-remang itu, sehingga semakin mudah dimanipulatif,” kata
psikolog seksual yang berpengalaman dalam isu HIV/AIDS sejak 30 tahun lalu.
Selain Baby Jim Aditya, diskusi buku dihantarkan juga oleh Irwan Hidayana,
dosen antropologi Universitas Indonesia
dan Frenia T.A.D.S Nababan dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia
(PKBI).
Dalam
bukunya yang terbaru ini (Opus: Februari, 2015)
Musdah Mulia memaparkan seksualitas sebagai kontruksi sosial atau proses
sosial budaya yang mengarahkan hasrat dan gairah manusia yang dipengaruhi
interaksi faktor-faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, agama
dan spiritualitas. Seksualitas merupakan hal positif, berhubungan dengan jati
diri seseorang terhadap dirinya. Seksualitas merupakan ruang kebudayaan manusia
untuk mengekpresikan dirinya terhadap orang lain dalam arti yang sangat
kompleks, menyangkut identitas diri, tindakan seks, perilaku seksual dan
orientasi seksual. Ruang kebudayaan itu
yang pada praktiknya menurut Baby Jim Aditya direduksi sebatas pada hubungan
tubuh – fisik. Tercermin dalam peristilahan bahasa Indonesia yang kita kenal bersetubuh.
Hubungan seksualitas direduksi pada pertemuan penis dan vagina atau penis
dengan anus tanpa melibatkan belief yang penting didiskusikan dari para pemilik
tubuh. Apalagi pereduksian menjadi bersetubuh ini juga berorientasi memenuhi
kebutuhan nilai-nilai patriarkis, menghamba pada maskulinitas. “Sehingga
perempuan tidak boleh mengungkapkan ekpresi seksualnya, kecuali memancing dan
laki-laki harus aktif-agresif,” kata Baby. Semua-setiap urusan seksualitas
disajikan dari cara pandang dan untuk laki-laki. Perspektif laki-laki juga yang
mengontrol-menentukan tentang baik dan buruk seksualitas perempuan.
Selain
dikendalikan sistem patriarkis, menurut Fernia, kontruksi seksualitas juga
dipengaruhi nilai-nilai, etika, penciptaan bineritas seksual. Mengutamakan
jenis kelamin perempuan dan laki-laki dan menolak realitas interseks, waria dan
priawan atau mengacu pada norma-norma hetero (heteronormatif). Norma-norma
hetero itu dibutuhkan untuk mengutamakan fungsi kegiatan seks untuk reproduksi
(memperbanyak keturunan) dan tidak menganggap utama fungsi kesenangan. Hal-hal
yang tidak biner perempuan-laki-laki dianggap tidak normal. Hal itu, terbukti
dengan banyaknya orang tua yang datang ke klinik psikologi klinisnya Baby Jim
dan memintanya untuk “menyembuhkan” orientasi seks anak mereka dari homosek ke
hetero. Anggapan tidak normal ini juga sering muncul dari tafsiran agama.
Karena sudah sejak ribuan tahun lalu
interprestasi agama juga dipengaruhi adab manusia yang biner dan
patriarkis. Padahal dalam bukunya, Musda
berefleksi keyakinan bahwa Tuhan maha kuasa dan maha pencipta seharusnya
membuat umat beragama menjadi lebih
hormat dan lebih empati kepada sesama manusia, apapun jenis kelamin
biologisnya, jenis kelamin sosial (gendernya) dan orientasi seksualnya.
Kebhinekaan bukti kebesaran Tuhan.
Fernia
juga memaparkan sistim seksualitas yang ada saat ini juga mendisiplinkan
seksualitas anak dengan menutupnya dari informasi tentang seksualitas,
penghormatan dan perawatan pada organ reproduksi. Akibatnya, kekerasan seksual
terus memburuk pada anak dan banyak remaja melakukan aborsi tidak aman. Pada
buku “Mengupas Seksualitas” Musdah Mulia memaparkan memburuknya aborsi tidak
aman pada remaja karena remaja tidak diajarkan bagaimana mengungkapkan ekpresi
seksual sehat yang tidak beresiko.
Sedangkan bila remaja mendapatkan pendidikan seksual yang komprehensif akan
menjadi lebih bijak, lebih matang sebelum melakukan hubungan seks atau
pernikahan dini. Karena remaja akan mengerti tidak mudah memikul resiko dan
tanggungjawab setelahnya. Seringkali
hambatan anak dan remaja untuk mengakses informasi ini malah bersumber dari orang
tua yang lahir dari generasi penabuan seksualitas. Seorang peserta diskusi yang
bekerja memberikan pendidikan kesehatan reproduksi ke sekolah-sekolah
memaparkan hambatan tersebut. Meskipun pihak sekolah menyambut hangat
pendidikan seks, banyak orang tua yang meminta izin anaknya agar tidak perlu
hadir di sesi pendidikan seksualitas tersebut. Pengalaman serupa dialami Baby,
yang sering diintip orang tua dari luar ruang pertemuan karena khawatir anak
didiknya akan ditunjukan gambar-gambar porno.
Menurut
Irwan, sudah saatnya untuk menumbukan pengetahuan seksualitas yang berbasis
hak. Yang juga menjadi bab khusus pada buku “Mengupas Seksualitas” ini. Bahkan
Musda Mulia memberikan bab lampiran yang secara lengkap mendokumentasikan
dokumentasi internasional mengenai hak-hak seksual. Antara lain hak kesetaraan,
perlindungan yang sama di muka hukum, dan bebas dari semua bentuk diskriminasi
yang berdasarkan jenis kelamin, seksualitas dan gender; Hak Privasi untuk
penikmatan otonomi seksualitasnya.
Hingga
petang, diskusi dipertajam dengan berbagai pertanyaan dan tanggapan dari
peserta.
Diskusi juga diperkaya pembacaan puisi seksualitas yang indah oleh
Gayatri WM, penulis novel "Tarian Kabut" (Komunitas Penulis Perempuan
Indonesia: 2014). Dan pembacaan puisi oleh penyusun bertajuk "Pernikahan
Padma." Puisi pertemuan sesama
jenis yang menolak adab biner, diterbitkan Jurnal Perempuan 73 edisi Perkawinan
& Keluarga, 2012. Di sesi akhir, seorang ibu yang sejak dua tahun ini
mengintegrasikan pengetahuan seksualitas pada konseling sebelum pernikahan juga
mengajak setiap pihak untuk melakukan hal yang sama. Untuk mendorong
keluarga-keluarga baru yang lebih melek seksualitas dan menghindari tabu yang
justru meningkatkan kekerasan seksual dalam keluarga.
Diskusi
ditutup dengan pemaparan Musdah Mulia, antara lain alasannya membukukan
pikiran-pikirannya. Ia menyadari, tertutupnya pengetahuan masyarakat pada
seksualitas terkait dengan resistensi yang besumber dari interprestasi agama.
Tetapi pengetahuan seksualitas ini harus disampaikan dan dibahas bersama untuk
menghindarkan semakin memburuknya kekerasan berbasis seksualitas. Juga untuk
menghindari memburuknya diskriminasi dan stigma pada warga lesbian, gay,
biseksual, transgender/sek dan intersek juga warga difabel (berkemampuan beda)
yang sering dianggap aseksual. “Ini tanggung jawab saya, ini tugas profetik.
Bila disalahpahami tidak apa-apa, yang penting saya menyampaikannya,” kata
Musda Mulia.
Buku
ini tak hanya berani menyajikan
perspektif agama Islam yang lebih humanis tetapi juga dapat menjadi acuan
praktis. Karena setiap babnya mengulas masalah-masalah yang kita hadapi saat
ini. Dari mulai isu homoseksual, kekerasan seksual, keluarga berencana, sunat
perempuan dan bagaimana memanusikan
orang dengan HIV/AIDS. Setiap bab diulas dari interprestasi Islam yang
humanis. Buku ini juga menyediakan satu bab rekomendasi yang dimintakan kepada
negara dan kita- masyarakat untuk bergerak dari adab patriatkis-heteronormatif
ke adab keadilan dan egaliter yang nir diskriminasi dan kekerasan.
Selamat
membaca!
No comments:
Post a Comment