Port Dickson, pasir pantainya berwarna krim, langitnya
biru. Dua jam perjalanan dari Bandara Internasional Kuala Lumpur. Di kota kecil
ini, Association for Progressice Communication (APC), organisasi yang
memberikan perhatian pada hak seksualitas dan internet, mempertemukanku
dengan sekitar 50 perempuan dan gay dari enam benua. Mereka, teman-teman
berpikir yang bekerja untuk isu seksualitas, hak internet dan penanganan
kekerasan terhadap perempuan. Kami berjumpa untuk membagikan pengalaman tubuh,
pikiran dan perasaan terkait kehadiran dan perjuangan kami di dunia ke-dua.
Dunia kedua itu, dunia on line. Dunia yang
merubah cara manusia berkomunikasi, mencari dan membagi pengetahuan, melakukan
transaksi perdagangan, menegosiasikan perspektif dan cara membangun relasi
kuasa antar para pihak. Antara perempuan dan lelaki,queer dan norma hetero, antara yang
jumlahnya sedikit dan disingkirkan dengan yang jumlahnya besar dan mendominasi.
Antara ekonomi kerakyatan dan perusahaan raksasa lintas negara,
antara warga negara dan pengelola negara - pemilik modal, antara negara
berkekuatan kecil dan negara adi daya.
Di dunia fisik, kami yang perempuan, queer dan
merawat ekonomi kerakyatan setiap hari terus bernegosiasi kuasa dengan
laki-laki, norma hetero dan kebijakan ekonomi global. Saat dunia masuk pada era
digital – dunia on line, maka kami
melanjutkan apa yang kami perjuangan di dunia fisik ke dunia on
line. Tidak mungkin kami melanggengkan ketidakadilan di dunia
fisik dengan cara membiarkan ketidakadilan serupa memburuk di dunia on
line. Sebab, apa yang kami percaya, apa yang kami
kreasi sebagai hak-hak dasar perempuan – queer dalam dunia fisik harus
sebanding lurus dengan apa yang dunia pahami-sepakati tentang hak-hak dasar
perempuan – queer di dunia on line. Demikian
juga gagasan keadilan ekonomi, budaya politik di dunia fisik harus sejalan
dengan kebijakan dan praktik berdagang, berbudaya, berpolitik di dunia on
line.
Ancaman Dunia Fisik yang Berlanjut ke Dunia Digital
Ditemani ombak yang sayup, kami duduk melingkar, di meja-meja
bundar pertemuan, di meja rehat kopi, di bawah bulan di balkon tempat kami
menginap. Membagikan pengalaman kami sebagai perempuan dan queer di dunia on
line: Menghadapi
iklan dagang yang bisa masuk ke hp kami, kapanpun tanpa konsen kami sebagai
pengguna hp. Menghadapi pertanyaan personal yang semakin banyak diajukan account jejaring sosial, untuk mempercepat
para marketer menawarkan produk ke kami, lagi-lagi tanpa konsen kami.
Setiap hari ada pengumpul data personal lalu dijual ke pemilik modal. Ada uang
banyak yang dihasilkan dari cara seperti itu, di saat bersamaan sebagian
besar pengguna hp, internet tidak diberitahu dan tidak diminta persetujuan soal
itu.
Siapa yang mengendalikan itu? Bisa jadi dari penjual terkecil,
kios di depan rumah yang sehari-hari kita membeli pulsa. Hingga pedagang besar
--para penyedia layanan jaringan internet. Soal menghasilkan uang itu juga yang
kemudian merubah semangat kepemilikan sumber daya internet dari
kepemilikan bersama –masyarakat, negara, swasta—menjadi sebisanya dimiliki para
pencari keuntungan. Soal keuntungan ini juga yang membuat negara abai terhadap
perlindungan hak pribadi para pengguna internet yang dirampas-jual begitu saja
oleh para pengumpul data. No hp kita, segala informasi yang kita berikan di
jejaring sosial, blog, web berpindah tangan begitu saja kepada pemilik modal
tanpa ada pertanggungjawaban dari swasta dan negara.
Dari pengalaman menjadi perempuan, media digital juga digunakan
para pelaku kejahatan yang berakibat pada memburuknya ancaman dan
tindakan kekerasan berbasis gender kepada pengguna perempuan. Pada konteks
Indonesia, dalam suatu perbincangan dengan Komnas Perempuan, komisionernya
menyampaikan pentingnya --lembaga nasional HAM perempuan itu--
mendokumentasikan dan memberikan laporan tahunan kepada publik terkait
kekerasan terhadap perempuan yang menggunakan jaringan internet, guna
mendapatkan penanganan perhatian lebih baik dari negara dan masyarakat.
Kekerasan itu tidak hanya menyerang perempuan korban –trafiking melalui
face book, penyebaran video pribadi di you tube untuk tujuan
mempermalukan—tetapi juga menyerang perempuan yang bekerja untuk
menghentikan kekerasan. Dhyta Caturani mengalami ancaman perkosaaan melalui
jejaring sosial terkait inisiatifnya menjadi penggerak One Billion Rising,
sebuah gerakan global untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan.
Sedangkan dari pandangan queer, dunia on
line juga menjadi
media berlanjutnya norma, hukum, dan praktik diskriminasi dan kekerasan
berbasis orietasi seks dan identitas gender yang sudah berlangsung sebelumnya
di dunia fisik. Yang mengakibatkan diskriminasi dan kekerasan semakin buruk
(lagi) di dunia fisik.Teman lesbian kami dari Afrika Utara menuturkan, tidak
mudah bagi mereka memperlakukan ruang on line untuk mengekpresikan identitas gender
dan orietasi seksnya. Sebab di dunia fisik, warga yang diketahui LGBTIQ
(Lesbian Gay Biseksual Transgender Interseks dan Queer) dapat menghadapi
ancaman pembunuhan. Berekpresi LGBTIQ di jejaring sosial, misalnya,
sama saja dengan memberi petunjuk pada ancaman kekerasan di dunia fisik.
Institut Pelangi Perempuan (organisasi keberhakan lesbian,
biseks dan transgender), memaparkan beberapa temuan diskriminasi dan kekerasan
berbasis orientasi seks dan identitas gender di Indonesia, antara lain:
Pemblokiran web yang menyediakan iformasi pengetahuan dan hak-hak dasar
terkait orientasi seks dan identitas gender, seperti pemblokiran web ILGA dan
OurVoice oleh penyedia layanan internet (XL, TELKOMSEL) baik dengan alasan
bertentangan dengan UU Pornografi maupun atas intruksi Kemeninfo. Sementara itu
penyebaran diskriminasi dan kebencian pada homoseksual dibiarkan berekpresi
bebas dan meluas. Antara lain penggunaan istilah dan avatar (lambang gambar)
maho –manusia homo— guna mengungkapkan berbagai kualitas manusia yang
buruk/rendah pada jejaring Kaskus –jaringan internet di Indonesia yang
pengikutnya mencapai 4,5 juta dan pengunjungnya sekitar 900.000 setiap harinya.
Juga pernyataan homoseksual sebagai penyakit dan anjuran penyembuhannya
oleh publik figur seperti Fahira Idris (saat ini anggota Dewan Perwakilan
Daerah) melalui jejaring sosial. Padahal sebagai the Most Inspiring Twitter
2010 dan the 8 Inspiring and Informative Women on Twitter by Fimela.com, --yang account twitternya diikuti oleh sekitar
136,055 followers-- apa yang ia sampaikan berdampak pada banyak orang.[1]
Pada pengalaman Indonesia, kekeliruan penjelasan salah
satu pasal UU Antipornografi yang mengkriminalkan homoseksual sebagai
pornografi tidak saja menutup kebebasan mengungkapkan pikiran-pendapat perspektif
homoseks di dunia fisik, tapi juga berakibat pada penutupan akses di internet.
Sekaligus menumpulkan kepekaan penegak hukum untuk melihat sebaran pikiran dan
sikap diskriminasi dan kekerasan pada warga LGBTIQ di internet sebagai ancaman
martabat dan keselamatan warga negaranya.
Prinsip Feminis dalam Berinternet
Pengalaman Indonesia bukan satu-satunya rujukan pada pertemuan
global di Port Dicson. Puan-puan dari benua Amerika Latin, Eropa dan
negara-negara Asia yang lain menyampaikan masalah-masalah yang dihadapi
perempuan dan queer terkait kebijakan negara, praktik swasta dalam pengaturan
tata kelola internet. Beberapa negara bahkan melarang keberadaan face book, you
tube, sebagai upaya mengendalikan nilai-nilai yang boleh/tidak boleh
disebarluaskan-dinegosiasikan. Sebagai upaya melanggengkan relasi kuasa, agar
siapa dapat terus mengendalikan siapa. Tetapi kami para puan dan queer
telah menentukan posisi kami terkait dunia kedua (on line) ini. Bila kami berjuang setiap
hari untuk menghilangkan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan,
keyakinan queer, sistem ekonomi yang tidak adil, maka itu juga yang akan kami
lanjutkan di dunia digital. Bagi kami, web, jejaring sosial, blog dan media on
line lainnya
bukan hanya alat komunikasi tetapi ruang publik baru
untuk menegosiasikan nilai-nilai, hukum-hukum dan relasi kuasa yang lebih
adil untuk setiap orang dengan kelengkapan identitas dan pandangannya.
Berangkat dari kesadaran itu, kami merumuskan beberapa prinsip
antara lain, bahwaterbukanya
dunia on line ini mesti dibangun bersamaan dengan kesadaran para pengguna,
terutama perempuan dan LGBTIQ. Agar mereka turut menikmati dan mengendalikan
pengaturan sumber daya internet secara setara. Termasuk akses yang setara untuk
semua dan setiap, terjangkau tanpa syarat. Karena, ruang
internet telah menjadi ruang publik dan transformasi politik. Ruang yang
memfasilitasi bentuk-bentuk baru kewarganegaraan yang memungkinkan individu
untuk mengklaim, membangun, dan mengekpresikan diri berikut jenis kelamin,
orientasi seks dan ekpresi gender. Yang juga menjadi peluang untuk melanjutkan
gerakan yang lebih menghormati hak-hak perempuan dan LGBTIQ.
Kami juga menyadari kekerasan berbasis gender dan orientasi seksual
secara on line bagian dan terhubung dengan
kekerasan yang berlangsung di dunia fisik. Serangan yang didasarkan atas
diskriminasi dan kebencian pada perempuan dan LGBTIQ harus menjadi tanggung
jawab setiap pihak yang berkepentingan dengan internet --negara, swasta dan
masyarakat. Tanggung jawab itu diwujudkan melalui pencegahan,
menanggapi kebutuhan korban dan menolak setiap bentuk diskriminasi dan
kekerasan secara on line. Termasuk menolak kekuatan yang
mengklaim dan memonopoli norma-norma atas nama moral komunitas dan primodial
apapun untuk membungkam suara korban, ekpresi feminis dan LGBTIQ di tingkat
komunitas, nasional dan global. Kita harus mengklaim ruang on
lineuntuk memungkinkan ragam realitas kehidupan perempuan dan
LGBTIQ hadir, lestari dan dihargai secara setara.
Kami memahami saat ini, belum sepenuhnya feminis dan LGBTIQ
terlibat dalam pengambilan keputusan dan demokratisasi undang-undang dan
regulasi sumber daya internet. Aturan-aturan yang mengendalikan/menentukan
masih menggunakan semangat patriarkis dengan norma hetero (yang benar yang
terbaik hubungan lawan jenis bukan sesama jenis atau lainnya). Relasi
tak setara serupa juga berlangsung dalam tata kelola internet terkait logika
kapitalis neo liberal. Kita perlu membongkar relasi itu dan memberi ruang
lebih kondusif bagi kekuatan ekonomi yang berdasarkan prinsip keterbukaan,
kebersamaan, gotong-royong dan solidaritas.
Dengan begitu, penting adanya komitmen semua pihak --negara,
swasta, masyarakat-- untuk menciptakan teknologi open source yang dapat membagikan pengetahuan, keterampilan kepada
sebanyak-ragam pengguna internet. Dari teknik menggunakan face book, twitter,
email, instagram yang aman, hingga pengetahuan infra struktur sumber daya
internet. Dan bagaimana masyarakat dapat terlibat aktif dalam tata kelola
internet.
Fungsi internet harus dapat dinikmati untuk kebutuhan informasi
atas kesehatan dan kesenangan. Penikmatan itu harus
didukung dan dilindungi semua pihak. Pada saat bersamaan, penyadapan,
pencurian, penjualan data pribadi harus dicegah. Kita sebagai pengguna
internet berhak untuk menyimpan data dan mengetahui siapa yang memiliki akses
terhadap data tersebut. Dan dalam situasi apa, kita memiliki kontrol. Misalnya
kontrol kita untuk menghilangkan foto atau video yang kita pasang di jejaring
sosial, sehingga tidak disalahgunakan oleh pihak lain. Suatu
prinsip yang menyeimbangkan antara hak atas mengakses informasi publik dan hak
mendapatkan transfaransi-pertanggungjawaban atas penggunaan data pemiliknya
(kita).
Kami juga berkeberatan dan menolak pihak negara, swasta dan
masyarakat yang mengontrol, membatasi kehidupan seksual yang dipublikasi on
line atas persetujuan
pemilik informasi. Karena, proyek pengontrolan ini merupakan upaya sensor dan
pelanggengan hierarkis hak-hak kewarganegaraan. Sedangkan
terkait pengguna internet anak dan remaja, kita perlu memfasilitasi internet
yang informatif dan mendukung perkembangan yang sehat untuk mereka. Antara lain
informasi positif tentang seksualitas, terutama untuk mendukung masa kritis
perkembangan mereka. Juga dukungan informasi agar mereka dapat menjalani dunia
fisik dan on line secara aman.
Terkait pornografi, kami memandang pornogrfai on
line sebagai hak
manusia dewasa dan isu perburuhan yang hanya dapat dilakukan atas pilihan
bebas, persetujuan dan penghormatan pada otonomi pelakunya. Kami menolak
hubungan sebab akibat yang serta merta mengaitkan pornografi dengan kekerasan
terhadap perempuan/LGBTIQ. Juga menolak pendidikan orientasi
seksual, identitas dan ekpresi gender sebagai konten pornografi. Sehingga tidak
terjadi lagi kekeliruan pada UU Pornografi yang memornokan orientasi seks
sesama jenis.
Prinsip terakhir yang kami rumuskan adalah penghargaan
dan perlindungan pada anonimitas pengguna internet, sebagai hak mutlak pengguna
untuk menikmati sumber daya internet. Karena, regulasi yang baru
memberi rasa aman pada sebagian warga --warga hetero, warga beragama mayoritas,
dan warga yang tidak bertentangan dengan kepentingan mereka yang ingin
menguasai tata kelola internet.
Gagasan yang kami sulam bersama itu, dirumuskan dalam dokumen
kerja Feminist Principle of the Internet, an envolving document
diorganisasi-dipublikasi oleh Association for Progressive Communication, yang
dapat dikases di http://www.genderit.org/articles/feminist-principles-internet.
Tiga hari perumusan, 13-15 April 2014, dalam pertemuan global
Gender, Sexuality and Internet, di Port Dicson itu, barulah langkah awal kami.
Selanjutnya kami menyampaikan gagasan itu pada pertemuan tata kelola internet
sedunia (Internet Governance Forum) ke 9 di Istanbul, Turki pada Agustus 2014.
Dan menjadi dokumen kunci dalam dialog berbagai panel di Human Right Council's
25 PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) di Genewa, pada September 2014.
Yang sama pentingnya, bagaimana kami menjalankan prinsip feminis
berinternet itu dalam kehidupan sehari-hari dan membagikan gagasan ini pada
lingkungan terdekat. Bila Anda sependapat dengan gagasan kami, silahkan
menyebarluaskannya :-).
Artikel ini menjadi salah satu referensi KE-PEKAN (Kelas
Pendampingan Korban) MARETAN PEREMPUAN 2015 untuk Sesi Keamanan Digital
untuk Pendamping Korban.
Materi ini pernah dipresentasikan Perempuan Berbagi pada
layanan in house diskusi bersama Ikatan
Mahasiswa Sasak (IMSAK) Jakarta, 2014.
#MakeItHappen
#womensday
#IWD2015
#internationalwomensday
#PaintItPurple
#KE-PEKAN
MARETAN PEREMPUAN
No comments:
Post a Comment