Friday, March 20, 2015

Burung Burung Tangguh di Langit Patriarkis

Lima belas tahun lalu, di tahun pertama aku mendampingi korban perkosaan. Beberapa mahasiswa psikologi mendatangi organisasi tempat aku bekerja. Dengan semangat  peneliti tingkat pemula salah satu dari mereka bertanya, “Mbak pernah mengalami apa, sampai mau bekerja untuk korban?” Waktu itu kujawab dengan jengkel, “Memangnya perempuan mana di dunia ini yang tidak mengalami diskriminasi dan kekerasan?” Jawabanku membuat mereka berusaha meyakinkanku bahwa mereka datang dari keluarga yang setara, tidak pernah mengalami diskriminasi dan kekerasan. Lalu di mana keluarga mereka tinggal? hingga bisa lepas dari polusi  sistem patriarkis yang mendunia. Barangkali mereka tinggal di planet lain. Atau mereka ada dalam lapisan terdalam keburukan sistem patriarkis yang biasa dibungkam, dimatikan rasa dan pikirnya, sehingga tidak peka lagi terhadap paparan diskriminasi dan kekerasan yang mereka alami. Bukankah hegemoni itu begitu lindap. Dalam hegemoni kekerasan bisa ditafsirkan sebagai cinta, penguasaan sebagai perlindungan dan kejahatan sebagai kebenaran.
Tujuh tahun kemudian, aku tak bisa melepaskan pendampingan korban. Bukan sebagai pekerjaan tapi pilihan hidup. Aku tumbuh bersama beberapa teman perempuan yang seangkatan dalam lingkaran pendukung perempuan yang mau sintas dari kekerasan. Kami datang dari berbagai suku, agama dan tinggal di provinsi yang berbeda tetapi kami sangat dekat dalam hal saling mendukung. Di tahun ke tujuh itu, aku memilih bekerja di Aceh. Di tahun ketujuh itu karibku, di pulau Jawa,  menangis sejadi-jadinya melalui telpon. “Kau tahu aku feminis, Kau tahu aku belajar dari korban yang kita dampingi. Tapi kau pasti tak percaya sekarang aku hamil, dicampakan kekasihku. Penghasilanku diserapnya habis dan semua orang menyalahkanku. Seolah aku tak pernah berbuat untuk kemanusiaan.”
Peristiwa diskriminasi dan kekerasan itu tidak memilih, bisa terjadi pada siapa saja, setiap waktu di setiap tempat. Aku menghiburnya agar ia tak semakin membebani diri dengan label feminis dan pendamping korban. “Ini waktu terbaik untukmu mencintai diri sendiri, merawat kesejahteraan diri. Tidak usah hirau dengan penilaian orang. Kau tahu, bahkan benih feminis akan segera mati bila ia menghiraukan penilaian orang. Bangun dan sintas. Kau penulis hebat aku memuji bukumu. Ini bisa terjadi pada feminis-pendamping korban manapun. Dan kita punya rumah untuk berpulang,” kataku. “Rumah yang mana?” tanya temanku. Rumah perempuan – ikatan kita – keyakinan sisterhood dan kita selalu ada dalam jatuh bangun. Rumah yang tak bisa digusur oleh kekuatan apapun. Termasuk sesama aktivis yang menggosipkanmu. Aktivis yang belum mampu merasakan nikmatnya gerakan kemanusiaan sampai ke hati.
Lima belas tahun kemudian, aku bersemeja kopi dengan dua karib perempuan.  Lebih dari delapan tahun kami bergotongroyong mendampingi korban kekerasan. “Mbak, masih ingat waktu kita marah sama suami teman kita yang meminta isterinya menahan rasa sakit saat melahirkan?” Ya, jawabku dan itu terjadi delapan tahun lalu. “Saat itu, sebenarnya aku juga mengalami hal yang sama dari suamiku...” Kemudian ia menceritakan bagaimana ia mengubur peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkannya. Ia mencoba untuk terus memahami suaminya. Memaklumi suaminya, barangkali karena begitu ia dibesarkan, begitu ia diharapkan oleh lingkungan keluarganya. Aku dan karib yang satu sekilas berpandangan dan saling diam. Aku meminta maaf padanya, betapa kami abai pada kondisinya. Sehingga ia berhasil menyembunyikan semua hal yang tidak membuatnya nyaman.
“Pemakluman itu ada batasnya. Tidak ada pribadi yang bebas dari pola asuh yang keliru terutama soal kesetaraan gender. Ketika pribadi itu menjadi dewasa, memutuskan berkeluarga. Saat itu juga ia bertanggungjawab memilah mana tradisi yang harus dibuang dan mana tradisi yang harus dirawat dan dibuat. Sehingga kita bisa membangun keluarga yang lebih sehat dan adil. Bukan mewarisi nilai-nilai yang merugikan pasangan dan anak-anak kita,” kataku, setelah aku memastikan dia membutuhkan komentarku.   Karib kami ini memutuskan untuk menegosiasikan beberapa hal dengan suaminya, untuk memperbaiki situasi mereka. “Bahkan aku yang feminis mengalami juga hal-hal yang dialami oleh perempuan kebanyakan...” keluhnya, persis seperti yang disesalkan temanku sebelumnya.
Sangat tidak apa-apa bila feminis atau pendamping korban bergumul-berjuang dengan hal-hal seperti itu. Dan memang akan seperti itu, karena kekasih kita, orang-orang terdekat kita, besar dalam cara berpikir di keluarga-keluarga, sekolah-sekolah, lembaga-lembaga agama, aturan-aturan negara yang belum sepenuhnya menghargai pengalaman, dan pikiran perempuan sederajat dengan laki-laki. Kita ini, burung-burung yang tangguh dan riang tapi juga terlanjur hidup di udara yang sudah penuh dengan polusi patriarkis.[]
Oleh: Dewi Nova


No comments:

Post a Comment