Lima belas tahun lalu, di tahun pertama aku mendampingi korban
perkosaan. Beberapa mahasiswa psikologi mendatangi organisasi tempat aku
bekerja. Dengan semangat peneliti tingkat pemula salah satu dari mereka
bertanya, “Mbak pernah mengalami apa, sampai mau bekerja untuk korban?” Waktu
itu kujawab dengan jengkel, “Memangnya perempuan mana di dunia ini yang tidak
mengalami diskriminasi dan kekerasan?” Jawabanku membuat mereka berusaha
meyakinkanku bahwa mereka datang dari keluarga yang setara, tidak pernah mengalami
diskriminasi dan kekerasan. Lalu di mana keluarga mereka tinggal? hingga bisa
lepas dari polusi sistem patriarkis yang mendunia. Barangkali mereka
tinggal di planet lain. Atau mereka ada dalam lapisan terdalam keburukan sistem
patriarkis yang biasa dibungkam, dimatikan rasa dan pikirnya, sehingga tidak
peka lagi terhadap paparan diskriminasi dan kekerasan yang mereka alami.
Bukankah hegemoni itu begitu lindap. Dalam hegemoni kekerasan bisa ditafsirkan
sebagai cinta, penguasaan sebagai perlindungan dan kejahatan sebagai kebenaran.
Tujuh tahun kemudian, aku tak bisa melepaskan pendampingan
korban. Bukan sebagai pekerjaan tapi pilihan hidup. Aku tumbuh bersama beberapa
teman perempuan yang seangkatan dalam lingkaran pendukung perempuan yang mau
sintas dari kekerasan. Kami datang dari berbagai suku, agama dan tinggal di
provinsi yang berbeda tetapi kami sangat dekat dalam hal saling mendukung. Di
tahun ke tujuh itu, aku memilih bekerja di Aceh. Di tahun ketujuh itu karibku,
di pulau Jawa, menangis sejadi-jadinya melalui telpon. “Kau tahu aku
feminis, Kau tahu aku belajar dari korban yang kita dampingi. Tapi kau pasti
tak percaya sekarang aku hamil, dicampakan kekasihku. Penghasilanku diserapnya
habis dan semua orang menyalahkanku. Seolah aku tak pernah berbuat untuk
kemanusiaan.”
Peristiwa diskriminasi dan kekerasan itu tidak memilih, bisa
terjadi pada siapa saja, setiap waktu di setiap tempat. Aku menghiburnya agar
ia tak semakin membebani diri dengan label feminis dan pendamping korban. “Ini
waktu terbaik untukmu mencintai diri sendiri, merawat kesejahteraan diri. Tidak
usah hirau dengan penilaian orang. Kau tahu, bahkan benih feminis akan segera
mati bila ia menghiraukan penilaian orang. Bangun dan sintas. Kau penulis hebat
aku memuji bukumu. Ini bisa terjadi pada feminis-pendamping korban manapun. Dan
kita punya rumah untuk berpulang,” kataku. “Rumah yang mana?” tanya temanku.
Rumah perempuan – ikatan kita – keyakinan sisterhood dan kita
selalu ada dalam jatuh bangun. Rumah yang tak bisa digusur oleh kekuatan
apapun. Termasuk sesama aktivis yang menggosipkanmu. Aktivis yang belum mampu
merasakan nikmatnya gerakan kemanusiaan sampai ke hati.
Lima belas tahun kemudian, aku bersemeja kopi dengan dua karib
perempuan. Lebih dari delapan tahun kami bergotongroyong mendampingi
korban kekerasan. “Mbak, masih ingat waktu kita marah sama suami teman kita
yang meminta isterinya menahan rasa sakit saat melahirkan?” Ya, jawabku dan itu
terjadi delapan tahun lalu. “Saat itu, sebenarnya aku juga mengalami hal yang
sama dari suamiku...” Kemudian ia menceritakan bagaimana ia mengubur
peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkannya. Ia mencoba untuk terus memahami
suaminya. Memaklumi suaminya, barangkali karena begitu ia dibesarkan, begitu ia
diharapkan oleh lingkungan keluarganya. Aku dan karib yang satu sekilas
berpandangan dan saling diam. Aku meminta maaf padanya, betapa kami abai pada
kondisinya. Sehingga ia berhasil menyembunyikan semua hal yang tidak membuatnya
nyaman.
“Pemakluman itu ada batasnya. Tidak ada pribadi yang bebas dari
pola asuh yang keliru terutama soal kesetaraan gender. Ketika pribadi itu
menjadi dewasa, memutuskan berkeluarga. Saat itu juga ia bertanggungjawab
memilah mana tradisi yang harus dibuang dan mana tradisi yang harus dirawat dan
dibuat. Sehingga kita bisa membangun keluarga yang lebih sehat dan adil. Bukan
mewarisi nilai-nilai yang merugikan pasangan dan anak-anak kita,” kataku,
setelah aku memastikan dia membutuhkan komentarku. Karib kami ini
memutuskan untuk menegosiasikan beberapa hal dengan suaminya, untuk memperbaiki
situasi mereka. “Bahkan aku yang feminis mengalami juga hal-hal yang dialami
oleh perempuan kebanyakan...” keluhnya, persis seperti yang disesalkan temanku
sebelumnya.
Sangat tidak apa-apa bila feminis atau pendamping korban
bergumul-berjuang dengan hal-hal seperti itu. Dan memang akan seperti itu,
karena kekasih kita, orang-orang terdekat kita, besar dalam cara berpikir di
keluarga-keluarga, sekolah-sekolah, lembaga-lembaga agama, aturan-aturan negara
yang belum sepenuhnya menghargai pengalaman, dan pikiran perempuan sederajat
dengan laki-laki. Kita ini, burung-burung yang tangguh dan riang tapi juga
terlanjur hidup di udara yang sudah penuh dengan polusi patriarkis.[]
Oleh: Dewi Nova
No comments:
Post a Comment