![]() |
Untitled. Oleh : Reka Agni Maharani |
Saya seorang
anak perempuan di atas kertas. Setelah saya dibeli, saya dijadikan milik oleh
ibu yang murah hati. Tertera di atas Akte Lahir nama saya dan saya anak di luar nikah. Hanya sekedar
identitas yang saya dapatkan. Bukan perhatian ataupun kasih sayang yang
seharusnya diberikan orang tua kepada seorang anak.
Saya
dibesarkan oleh seorang ibu dengan banyak pria yang harus saya panggil “ Papa,
Bapak, Papi, Ayah “ di setiap waktu berbeda.
Mungkin tanpa diberitahu pun saya menyadari bahwa saya bukan seorang
anak kandung, karena ibu saya masih keturunan Tionghoa tetapi di dalam keluarga
besar hanya saya yang berkulit hitam. Ibu saya cantik, di usianya yang sudah
40-anpun ia tetap menarik. Ditambah dengan penampilan yang menunjang, pria
setengah bayapun masih melirik. Tapi dibalik kecantikan dan kondisi ekonomi
yang cukup, ia juga memiliki kelemahan. Laki-laki yang datang padanya hanya
sekedar faktor manfaat. Tapi ibu saya sudah terlalu buta oleh laki-laki hidung
belang. Kehidupannya hanya sekedar hura-hura. Pergi dan pulang sesukanya.
Saat saya
berada di bangku SD, setiap subuh saya harus bangun untuk membukakan pagar untuk ibu saya yang pulang dalam keadaan
selalu mabuk. Rokok, Miras ataupun narkoba sudah sering saya dengar bahkan saya lihat dengan mata kepala sendiri. Bukan
lagi kata-kata asing , melainkan sudah akrab di kehidupan sehari-hari .
Kekerasan
Fisik di dalam rumah tangga juga saya alami. Entah itu antara ibu dan pria-pria
yang datang, antara ibu dan saya atau antara saya dengan pria-pria bejat itu .
Saya juga
mempunyai seorang saudara tiri, anak kandung dari ibu . Seorang lelaki.
Hubungan kami tidak begitu dekat. Hanya sekedar sapaan kakak tiri kepada adik
tiri. Mungkin sekarang aku bisa simpulkan bahwa itu sekedar basa basi. Hari itu,
kakak datang ke rumah untuk meminta uang jajan. Di umurnya yang sudah 19 tahun
ia masih duduk di sekolah menengah atas. Akibat kenakalannya maka ia harus tinggal
kelas selama dua tahun. Saya membukakan pintu untuknya, tapi ibu tidak di rumah
dan dia tak pernah tahu jadwal ibu untuk pergi dansa. Akhirnya kakak menelepon
ibu, bahwa dia akan menunggunya sampai pulang ke rumah.
Sudah tiga jam
ibu belum juga pulang. Hari sudah mulai malam, agak ganjal rasanya harus
bersama dengan orang yang saya anggap asing. Akhirnya saya masuk ke dalam kamar
dan mengerjakan tugas sekolah. Selang berapa waktu, kakak masuk ke dalam kamar.
Risih. Dia melihat-lihat tugas yang saya kerjakan lalu di taruhnya lagi di atas
meja. Saya tak berani melihat wajahnya.
Terlalu sinis matanya untuk melihat saya. Entah apa yang ada dalam
otaknya, tangan saya di genggam erat, ditariknya, lalu dia menyeret tubuh saya
ke atas tempat tidur. Saya pikir saya akan dipukulnya. saya hanya diam, meronta
sebisanya agar kedua tangan saya dilepaskan. Saya membuka mata, dia menyuruh
saya diam karena dia bilang dia tidak akan memukul saya kalau saya diam. Dia
membuka kaus dan celananya dan hanya mengenakan celana dalam saja.
Perlahan-lahan
dia membuka kancing piyama saya. Diturunkannya celana panjang dan celana dalam
saya. Hanya kaus dalam yang saya pakai yang tidak dilepaskannya dari badan.
Saya hanya diam terpaku karena takut dengan ancaman yang ia katakan bahwa akan
memukul saya bila saya bergerak atau berteriak. Ditindihnya tubuh saya yang
kecil dengan badan nya yang besar. Lalu bergeraklah dia sesukanya di atas tubuh
saya. Kulitnya yang berkeringat bergesekan dengan tubuh saya yang rasanya
dingin sekali saat itu. Aku tidak tahu permainan apa yang dia lakukan pada saat
itu, bila memang itu permainan kenapa rasanya tidak menyenangkan bagi saya.
mengapa dia harus mengancam saya bila harus sekedar bermain?
Permainan itu
pun selesai dengan dia bangun dari atas tubuh saya lalu pergi ke kamar mandi.
Saya masih tetap diam terpaku di atas ranjang. Saya tidak menangis. Hanya
takut. Takut saya akan dipukul. Setelah keluar dari kamar mandi, dia memakai
baju nya lagi dengan rapih. Lalu disuruhnya saya untuk memakai piyama saya lagi
dan menyuruh saya tidur. Beberapa waktu
kemudian , ibu saya pulang. Ia membunyikan klakson mobilnya. Tapi saya tidak
bangun. Kaki saya kaku. Akhirnya kakak yang membukanya dan menemui ibu. Setelah
ibu memberikannya uang, kakak masuk kembali ke dalam kamar saya, ia pun
membalikkan badan saya agar wajah saya terlihat oleh dia. Saya menatapnya
tajam, kakak berkata bahwa apa yang dilakukannya tadi tidak boleh ada yang
mengetahui. Saya tak menjawab, hanya membalikkan tubuh saya lagi berpaling dari
arahnya.
Ingatan itu
masih membekas. Terus membekas sampai saya duduk di bangku SMP. Saya
mendapatkan pelajaran tentang Biologi membahas tentang pria dan wanita, tentang
alat reproduksi, dan seks. Terpapar dalam ingatan saya, bahwa apa yang
dilakukan oleh kakak saya dulu bukanlah sebuah permainan melainkan pelecehan
seksual!
Kebencian yang
besar saya tanamkan kepada kakak saya. Benci kepadanya masih saya rasakan
hingga saat ini. Sudah hinakah diri saya sejak masih kecil? Masih sucikah diri
saya pada saat itu? Bisakah saya terima perlakuan itu? Pertanyaan-pertanyaan
itu terus terbesit dalam benak saya. Dan sebagai anak angkat, sekali lagi saya
hanya bisa diam dan ikhlas.
Saya tidak pernah bermimpi ataupun bercita-cita
menjadi “seseorang”. Saya hanya bercita-cita bisa menjalani kehidupan lebih
baik daripada kehidupan ibu saya. Seharusnya saya bisa bercita-cita yang tinggi
seperti teman-teman sepantaran, entah itu menjadi Dokter, Pramugari atau
Pengusaha. Tapi saya sadar dengan lingkungan hidup yang saya jalani, cita-cita
itu terlalu jauh untuk digapai . Angka yang bagus di dalam raport saya pun
tidak bisa mengubah kehidupan saya. Entah seberapa sering saya berdoa dan
menangis di malam hari untuk meminta kehidupan yang normal seperti anak
perempuan yang lainnya. Saya terlalu berdosa untuk menyalahkan Tuhan karna
kehidupan masa lalu saya.
Kepada siapa
saya harus minta perlindungan? Kalau hanya ada ibu saya yang membeli saya dari
bayi dan memberi saya susu, pakaian, makanan dan pendidikan.
Kepada siapa
saya menuntut hak saya sebagai anak perempuan? Kalau hanya ada ibu angkat saya yang
mau memberi kehidupan.
Sebagai
seorang anak, saya sudah memenuhi kewajiban saya untuk bersekolah dan
berprestasi. Lalu sebagai anak apa hak yang bisa saya tuntut?
Atau saya
sudah menerima hak saya, karena masih bisa mempunyai kehidupan, makan, dan
bersekolah ?
Sekarang saya
hanya hidup sebagai pribadi yang keras, tanpa ada kenangan indah sebagai seorang
anak perempuan yang seharusnya menjadi seorang putri di dalam sebuah rumah
tangga .
No comments:
Post a Comment